Friday, November 2, 2018

Tak Ada Pembenaran Dalam Perselingkuhan

"Biarlah, sudahlah.. Karena aku yakin karma itu ada"

Sebuah status seorang teman yang sedang terluka karena perselingkuhan. 
Diamnya bukannya karena tak tahu apa yang dilakukan suaminya diluar sana, usaha untuk membicarakan dengan baik-baik pun seolah hanya wira wiri di telinganya saja, yang tak di dengar dan lagi-lagi terus di ulanginya.

***

"Aku bingung antar melupakan atau memaafkan, anak-anak ingin keluarga kami utuh kembalI. Tapi jika aku memaafkannya pasti keluargaku mengatakan aku adalah perempuan bodoh karena masih mau menerimanya kembali, sedangkan aku masih trauma dengan sikapnya yang dulu tapi aku juga tak sanggup menolak permintaan anak-anakku" isaknya sambil menunduk

***

"Keluargaku memintaku untuk pulang ke rumah mbak, tapi apa jadinya jika keluarga kami terpisah-pisah? Harta benda kami sudah habis, dan kalau rumah tangga juga berantakan, apa jadinya anak-anak ku? Aku kuat-kuatin aja untuk membangun lagi dari nol, meskipun kadang aku masih muak kalau inget kelakuan suamiku yang diporotin perempuan lain sehingga habis semuanya seperti ini"

***

Ketiga cerita diatas adalah kisah nyata, kisah para perempuan hebat disekeliling saya. Level sabarnya sudah setingkat tokoh protagonis di film india.

Awalnya saya kira kisah semacam ini hanya ada dalam sinetron saja, dengan kisah mendayu-dayu dan segala dramanya, tapi ternyata tidak, banyak kisah yang terjadi yang membelalakkan mata saya, bahwa perempuan yang "terlalu sabar" itu benar-benar ada.

Aku yang selalu gemas melihat alur cerita sinetron rumah tangga, yang terus bersabar ketika begitu teraniaya. Ingin rasanya memindahkan channel tv dengan segera, agar tak melihat klasiknya permasalahan yang tak masuk di akal saya.
Tapi saat ku dengar secara langsung dari teman yang mengalaminya, MasyaAllah.. tergetar hatiku, merinding dibuatnya.

Ada yang tersakiti oleh tingkah suami yang tak sadar-sadar juga, bermain gila diluar sana dengan asyiknya.
Sedangkan di rumah istrinya menunggu dengan setia, sambil berharap kepada Allah yang berkuasa membolak-balikkan hati.
Ku kira mereka adalah perempuan lemah yang tak punya upaya, sehingga hanya bisa pasrah pada keadaan saja.

Tapi ternyata tidak, mereka mengayuh doa dalam sabarnya, sambil menahan tangis agar tak terlihat oleh orang tua.
Ya, mereka tak ingin membuat ayah ibunya cemas, dan dia pun sendirian menikmati sakitnya, sambil berpura-pura bahagia.

***

Di tempat yang berbeda, ada perempuan yang mencoba menghapus rasa traumanya. Mencoba menerima dan memaafkan kesalahan suami demi anak-anaknya.
Setiap hari dia melawan ketakutan akan terulangnya kesalahan yang sama, yaitu penghianatan dan kekerasan dalam rumah tangga. Tapi dia tetap bertahan dalam sabarnya, sambil menyusun kembali balok-balok kepercayaan yang terlanjur berantakan.
Demi siapa? Demi anak-anaknya, agar mereka tak kehilangan sosok ayah yang dicintainya. Dan karena dia sadar, bahwa anaklah yang akan paling merasakan efek buruk dari sebuah perceraian.

***

Dan dia, yang tetap bertahan ditengah bangkrutnya usaha suaminya, yang susah payah dibangun berdua dan habis dalam beberapa bulan saja karena dimanfaatkan oleh orang ketiga.

Masih terbayang bagaimana susahnya mereka saat pertama kali menjajakan dagangannya, sang suami yang dulunya bukan siapa-siapa kini terus bertumbuh menjadi sang pengusaha, yang dulunya tak ada yang melirik, sekarang menjadi sosok laki-laki yang menarik.
Tapi dia lupa, bahwa ada keringat istrinya dalam kesuksesannya sehingga dengan mudahnya diperdayai oleh perempuan lainnya.

Dan sekarang, dia benar-benar sadar, bahwa hanya istrinya yang selalu ada dalam suka dan dukanya, yang rela menemani dan mensupport di segala kondisinya.

Iya, istri yang dari dulu selalu dijadiakan alasan utama perselingkuhannya, karena sudah tidak nyaman lah, karena cerewet lah, karena penampilan yang tidak menarik lagi lah, dan karena alasan-alasan lain yang dapat membenarkan tindakannya, meskipun bagi saya tidak pernah ada pembenaran dalam perselingkuhan.

Sesaat setelah teman saya bercerita, saya sempat bertanya:
"kenapa memilih untuk bertahan? Bukankah kamu punya dua alasan kuat untuk meminta perceraian yaitu penghianatan dan kebangkrutan? Apalagi yang kamu harapkan darinya?"

Sungguh diluar dugaanku dia menjawab:

"Sebenarnya aku juga sudah muak dengannya, tapi dia tetaplah ayah dari anak-anakku. Apa jadinya anak-anakku yang sudah remaja, yang telah mengalami hancurnya perekonomian keluarga, ditambah lagi harus kehilangan orang tuanya?"

Sesaat saya terdiam, mencerna jawaban yang singkat tapi padat, yang terlalu sulit di cerna oleh usus pendek manusia awam seperti saya.

"gila ya?manusia seperti apa yang rela menghianati perempuan yang sungguh mencintai keluarganya seperti ini? " bisikku dalam hati.

Lalu akupun sadar, dia tak butuh jawaban untuk permasalahannya, dia hanya butuh di dengar dan dipeluk, karena sungguh, keputusannya adalah keputusan terbijak yang bagi seorang perempuan dalam kondisi terburuknya. Dia masih memikirkan orang lain, dan dia masih bisa memikirkan efek jangka panjang keputusan yang akan diambilnya, terlebih untuk anak-anaknya.

Dan lagi-lagi ini bukan drama saperti sinetron rumah tangga karya R*m P****bi, ini adalah kisah nyata disekitar kita,
tanpa back sound lagu menyayat tapi pedihnya lebih melekat,
Tanpa adegan didramatisir tapi membuat air mata terus mengalir
Dan tanpa akting tapi kisahnya membuat hati siapapun akan terpelanting.

Wahai suami, tidakkah kau rasakan kuatnya cinta istrimu?

Pulanglah, pulang.. Jangan Sia-siakan sebuah permata hanya untuk sebuah batu kerikil saja.
Jangan korbankan keluargamu demi kesenangan semu saja.

Karena salah satu teguran Tuhan yang paling menyakitkan adalah kehilangan keluarga yang disertai dengan rasa penyesalan.

Fitrina Kamalia


No comments:

Post a Comment

Popular Posts