Sunday, May 31, 2020

Teko dan Cangkir


Aku pernah baca sebuah kalimat bahwa teko yang diisi air kotor maka akan menuangkan air kotor juga pada cangkir-cangkirnya. Dan teko itu adalah otang tua sedangkan cangkir itu adalah anak-anaknya. Ketika keseharian orang tua diisi dengan pertengkaran dengan pasangan, konflik dengan orang tua/mertua atau kekacauan ekonomi dalam keluarga maka nggak heran kalau mereka jadi mudah marah kepada anak-anak. Tingkah laku anak-anak yang bisa jadi adalah tingkah yang lucu menurut orang lain, bahkan bisa menjadi pemicu kemarahan orang tuanya sendiri. Ya, air jernih itu berubah menjadi air kotor juga saat masuk ke dalam teko yang berisi air kotor.

Lalu harus bagaimana? ketika orang tua tidak bisa menghindari konflik dalam keluarganya, apakah selamanya ia akan menjadi orang yang pemarah?

Tentu tidak, karena jika kita tidak bisa merubah/mengontrol kondisi di sekitar kita, tapi kita punya kuasa untuk mengontrol sikap kita. Caranya bagaimana? yaitu dengan memasang saringan pada teko. 

Saringan itu nantinya akan menjadi filter sikap orang tua kepada anak, seburuk apapun kondisi yang dialami, orang tua punya kuasa untuk memberikan sikap yang baik kepada anak-anak. Karena anak-anak tidak bersalah, mereka tidak paham dengan kondisi yang terjadi, jadi tak seharusnya mereka menjadi pelampiasan kemarahan orang tuanya.

Kebayang nggak sih, gimana bingungnya anak-anak saat mereka bertanya dengan polosnya "Mama, kenapa papa belum pulang?" , tapi karena mamanya sedang ada konflik dengan suaminya dan sedang emosi, ia menjawab dengan nada tinggi "tanya sendiri sana sama papamu kenapa dia nggak pulang!" Sedih banget kan jadi anaknya, nggak ngerti apa-apa tapi selalu kena pelampiasan kemarahan mamanya.

Lalu bagaimana cara memasang "saringan" agar hal negatif yang dialami orang tua tidak mengalir pada anak-anaknya?

Pertama, saat marah menghindarlah sesaat, sebisa mungkin yang bisa dilakukan, boleh masuk kamar mandi, boleh menangis di kamar, atau menitipkan anak pada saudara sebentar. Berilah waktu untuk diri untuk menenangkan diri, jangan biarkan amigdala terus menerus dibajak sehingga menghasilkan respon negatif dan emosional, berilah waktu pada otak untu berfikir rasional.

Kedua, gunakan the power of "bagaimana perasaanku jika aku diposisinya?", biasanya langkah kedua ini efektif banget buat "menabok" diri agar segera sadar dari sikap/respon yang kurang tepat kepada anak-anak. Bisa juga dengan melakukan flashback ke masa kecil, oh dulu waktu aku dibentak sama Papa rasanya nyesek banget lho, dulu pas orang tuaku nggak menepati janji rasanya kecewa sekali, dan pengalaman-pengalaman lain yang tidak ingin kita ulang kepada anak-anak. Jadi sebenarnya,bukan tanpa alasan Allah memberikan kita kesempatan menjadi orang tua setelah kita melewati tahap menadi seorang anak terlebih dahulu, agar kita bisa belajar dan menimbang rasa bagaimana kita dulu ingin diperlakukan sebagai anak dan bagaimana saat ini kita ingin memerlakukan anak ketika menjadi orang tua.

Well, sekali lagi orang tua adalah manusia berdaya yang punya kuasa atas dirinya, mereka memiliki kemampuan dan pilihan untuk bersikap seperti apa dan bagaimana mendidik anak-anaknya. Jika ingin anak-anak tumbuh menjadi manusia yang lebih baik maka orang tua harus berusaha lebih keras untuk menjadi versinya yang lebih baik, orang tua yang memberikan hanya hal-hal baik kepada cangkir-cangkir (anak-anak) kecilnya.

No comments:

Post a Comment

Popular Posts