Monday, June 22, 2020

Membangun kepatuhan seharusnya bukan dengan mempermainkan

Semakin banyak belajar maka akan semakin banyak penyesalan, mungkin itu istilah yang cocok buatku. Menyesalnya bukan karena banyak belajar dan capek, tapi menyesal kenapa nggak dari dulu belajar banyak hal agar nggak salah langkah dalam mengasuh anak. 

Seperti halnya minggu lalu saat belajar tentang 20 butir filosofi Charlotte Mason, rasanya setiap poin yang dipelajari seolah mengoreksi cara pengasuhanku pada anak-anak. Tapi ada beberapa hal yang menjadi highligt dan bener-bener nancep di ingatan, yaitu dalam proses membangun ketaatan anak kepada orang tua, orang tua nggak boleh mempermainkan rasa takut, rasa cinta, kharisma dan hasrat alamiah anak


Yang pertama, mempermainkan rasa takut dengan mengancam, misalnya "kalau nggak mau makan, mama tinggal pergi nih". Memang ancaman itu cara yang paling gampang untuk membuat anak patuh, tapi sebenarnya itu berbahaya buat anak. Ancaman hanya akan efektif dalam jangka pendek, nanti seiring bertambahnya umur, level ancaman akan semakin naik seiring dengan kecerdasan anak. Kalau umur 3 tahun nurut saat diancam mau ditinggal, nanti umur 5 tahun suda tidak akan mempan lagi, dan biasanya orang tua akan menaikkan level ancaman, misalnya nggak akan dikasih uang jajan atau dihapus jam nontonnya. Tapi yang paling parah, anak-anak yang terbiasa diancam akan terbentuk menjadi anak-anak yang suka mengancam juga. "Kalau mama nggak mau beliin mainan itu, aku besok nggak mau sekolah" see? persis banget dengan ancaman yang selama ini kita sampaikan ke anak-anak.

Kedua, mempermainkan rasa cinta, ketika anak tidak mau bersalaman dengan tamu misalnya, lalu orang tua bilang "kamu itu nggak sayang sama mama, mama kan malu kalau anaknya nggak sopan, kamu nggak kasian sama mama?". Jadi sikap penolakan terhadap permintaan akan dianggap sebagai betuk rasa tidak sayang, sehingga pada akhirnya nanti anak akan kesulitan untuk untuk mengungkapkan keinginannya dan perasaannya. Anak akan berpotensi menjadi "people pelasure" yang sulit menemukan jati diri dan sangat bergantung pada penilaian orang. Dan yang mengkhawatirkan adalah saat remaja, anak-anak ini akan kesulitan untuk menolak ajakan teman-temannya untuk melakukan hal negatif, misalnya memakai obat-obatan. Juga saat mereka pacaran akan kesulitan untuk menjaga diri karena tidak bisa tegas menolak ajakan pasangan dengan kekhawatiran jika ia menolaknya maka akan dianggap tidak mencintai pasangannya.

Ketiga, mempemainkan kharisma, hal ini biasanya berkaitan dengan orang-orang yang dikagumi dan disegani oleh anak misalnya guru dan ayah. Mempermainkan kharisma ini contohnya dengan memberikan perintah dengan mengatasnamakan orang yang disegani atau dikagumi, atau mempermainkan dengan ancaman jika anak tidak melakukan perintah orang tua maka akan diberitahukan kepada guru atau ayahnya.

Keempat, mempermainkan hasrat alamiah anak, mislanya anak yang kompetitif akan menjadi semangat mengikuti perintah jika diberikan pujian-pujian dan kemenangan. Hal ini sepertihalnya memberikan makanan manis atau coklat pada anak, anak akan lahap dan makan dengan cepat tapi untuk jangka panjang tidak akan berdampak buruk pada anak.

Orang tua memang memiliki otoritas pada anaknya tapi orang tua juga harus menghargai kepribadian anak. Jika anak diberikan pengertian bahwa hal ini baik atau buruk, anak akan memahaminya, karena anak itu adalah pribadi yang utuh yang dapat berfikir. Jadi ketika kita ingin anak melakukan hal yang kita perintahkan, harus dijelaskan mengapa ia harus melakukan itu, bahwa ini prinsip, bahwa hal ini baik, bahwa itu bahaya, jadi anak akan mengikuti perintah orang tua karena dia paham alasannya, bukan hanya sekedar takut atau sungkan. 

No comments:

Post a Comment

Popular Posts